Wednesday, September 15, 2010

Stop Budaya Mengejek!

“Ya ampuun! Padang banget sih lo! “

Ucapan seorang temanku yang berasal dari Jakarta itu terdengar sedikit menusuk ketika aku memberinya selembar uang 2 RM untuk iuran kelas. Uang itu sebenarnya dikumpulkan untuk membeli hadiah/ kenang-kenangan kepada salah seorang teman kami yang akan pindah sekolah. Dibanding teman-teman yang lain, kali itu memang aku sendiri saja yang terlihat memberi uang lebih sedikit dari mereka yang memberi 3RM-5 RM. Tapi jujur, saat itu memang aku sedang tidak banyak uang. Hari itu ibu memberiku uang hanya 5 RM untuk jajan dan ongkos pulang, sebab aku sudah membawa bekal dari rumah, jadi aku bermaksud untuk menabungkan sebagian dari 5RM itu setelah pulang sekolah nanti. Kalau dipikir, 2 RM (ringgit Malaysia) itu senilai dengan sekitar Rp 5000,00/ Rp 6000,00 nilai mata uang Indonesia. Cukuplah kiranya nilai tersebut sekedar sumbangan untuk membeli hadiah cinderamata sebagai kenang-kenangan untuk seorang teman yang pindah tersebut. Tapi sebut saja Rani, seorang temanku yang mengumpulkan uang tadi, aku dianggap pelit. Ungkapan Padang yang diucapkannya memiliki arti pelit. Aku tahu itu. Karena bukan hanya aku saja orang padang yang mendapat istilah seperti itu, orang-orang minang lainnya juga. Tidak peduli dengan kondisi keuangan kami, jabatan kami, keluarga kami, kedudukan kami, yang namanya orang minang, ya Padang. Tetap saja pelit.

Apa benar begitu?

Kalau menurut pendapatku yah, sebagai orang padang nih, ehem. Secara letak posisi, kampungku bukan di kota Padang. Tapi sebuah kota kecil yang bernama Payakumbuh,sekitar 25-30 km dari Bukittinggi dan 125 km dari ibukota provinsi Padang. Tapi karena aku lahir memang di Kota Padangnya, aku bisa menerima orang menyebutku sebagai orang Padang. Tapi tidak dengan arti pelit!

Mungkin sebagian orang Minang memang ada yang pelit. Mungkin sebagian mereka yang banyak merantau ke daerah-daerah seluruh pelosok-pelosok tanah air memang s

ifatnya pelit? Kan bisa jadi mereka sedang kekurangan uang, maklumlah perantau. Kami merantau tanpa bekal uang sepeserpun. (Engga kami juga sih, hehe). Tapi bisa jadi,kan? Setiap orang pasti punya alasan pribadi untuk menjadi pelit, atau kikir, atau terlalu hemat?

Mengapa anda yang bukan orang minang sesekali mencoba mengunjungi Sumatera Barat

, kemudian langsung melihat sendiri, apakah benar semua orang minang itu pelit? Karena menurutku, masih banyak kok dari kami yang suka memberi, sebab memang tradisi di Minangkabau untuk saling memberi dan berbagi. Tidak ada keraguan padanya. Jadi kalau memang anda bertemu dengan seorang padang yang pelit, coba timbang-timbang terlebih dahulu sebelum mengejeknya. Apakah dia sedang tidak ada uang dan tidak mampu, atau mungkin memang sedang butuh uang untuk keperluan lain yang lebih penting, dan alasan-alasan lainnya. Aku yakin sifat pelit juga pasti ada diantara anda yang memang bukan orang Minang. Sunda, Jawa, Madura, batak, dan bangsa lain dari sabang samapi merauke yang tersebar di Indonesia.

Bahkan seorang temanku dari Madura-pun ikut diejek. Jawa-lah yang lembek, batak-lah yang kasar, Maluku-lah yang item, dan berbagai ejekan menusuk hati lainnya yang terlontar dari dan sesame kita. Ayolah, jangan saling meremehkan. Apa jadinya jika orang di barat sana melihat kita saling menjelekkan satu sama lainnya. Sedang kita satu bangsa, satu Negara. Keberagaman budaya di Negara Indonesia kita yang tercinta inilah yang membuat kita unik dari bangsa lain. Itulah yang harus kita banggakan. Sangat salah jika kita saling menjatuhkan. Ya ngga, sih?

Dan jika seandainya salah seorang dari kita, dijelekkan atau diremehkan dari salah seorang dari kita dari daerah dan adat yang berbeda, janagn jadikan itu sebagai permusuhan. Jadikanlah itu sebagai peringatan dari kita yang mungkin (salah satu dari kita) di mata mereka pernah berbuat yang tidak baik, sehingga membuat persepsi buruk yang konstan dalam pikiran mereka.

Sebagai orang Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri, Malaysia, aku sering merasa sedih dan kecewa terhadap persepsi buruk orang Malaysia tentang Indonesia. Kita selalu disamakan dengan para TKI/TKW kita (sebagian) yang merantau ke negeri jiran ini ; membuat onar, memberi pengaruh buruk, yang tentu saja merugikan orang Malaysia. Walau hanya sebagian dari mereka, tapi telah berdampak sangat besar kepada mereka terhadap pandangannya kepada Indonesia. Padahal banyak juga dari kita rakyat Indonesia yang merantau ke Malaysia semata-mata untuk mencari pekerjaan yang halal, menuntut ilmu dan berniat baik saja. Betapa tidak adilnya.

Intinya semua ini untuk menjelaskan bagaimana sebuah perilaku buruk yang sedikit kita lakukan membuat persepsi yang tetap berada di pikiran seseorang bahwa kita; buruk. Tidak peduli seberapa besar dan banyak kita melakukan perbuatan baik. Memang ironis.


No comments:

Post a Comment